Pesan untuk Hujan


Karya: Belle


          Aku menikmati setiap tetes air hujan yang membasahi tubuhku, sama halnya ketika aku menikmati setiap detik mencintaimu.
             
           Hujan lagi. Aroma khasnya menyergap penciumanku. Sendiri di balkon kamar sore ini, dengan berlatar hujan membuat hatiku nyaman. Aku suka hujan. Suaranya mendamaikan jiwa. Tak hanya itu, hujan menyimpan kisahku tentang cinta. Kisah cinta yang sederhana namun berbekas. Aku tersenyum sendiri seraya menatap berjuta bulir jernih yang jatuh dari langit. Sungguh, hujan mengajarkanku bagaimana mencintai dengan sederhana. Meskipun hanya dalam diam. Hujan mengajarkanku arti ketulusan. Meskipun ketulusan itu hanya aku yang tahu. Dan hujan mengajarkanku, bahwa hidup itu tak seindah cerita dongeng, yang memiliki akhir baik sesuai dengan apa yang kita harapkan.
***
            Apa yang Eyang ucapkan benar. Sore ini hujan lagi, dan aku tidak membawa payung karena ku kira tidak akan hujan. Cuaca cerah siang tadi membulatkan tekadku untuk tidak membawa payung, menghapus keraguanku bahwa tidak akan terjadi hujan hari ini. Ucapan Eyang bagai seorang peramal handal, selalu benar dan tak pernah salah sasaran. Aku menunggu hujan berhenti di ambang pintu kelas, seraya memerhatikan sekumpulan anak manusia berseragam putih abu-abu dari kejauhan yang berlari menantang hujan, tanpa takut. Terkadang, aku iri, aku ingin seperti mereka, yang dengan leluasa dapat bebas menari diguyur tetesan-tetesan air dari langit. Namun, Eyang selalu melarangku, dengan alasan nanti sakit. Kurapatkan jaket hangat yang melapisi tubuhku. Semesta semakin berderai, menuangkan segala beban pilunya. Aku benci hujan. Selain suaranya yang berisik, hujan membuatku terpenjara di bawah atap yang berdiri kokoh ini. Aku menghembuskan napas kecewa. Hari ini akan pulang terlambat. Gagal mencicipi sayur lodeh khas Eyang dengan tepat waktu sebelum didahului oleh Billy, si bocah kecil yang rese. Bangku depan kelas sebagai teman penantianku sore ini. Dirumah, pasti Eyang sedang mengomel tak jelas, khawatir padaku yang masih terjebak disini.
“Sendiri?” Sebuah suara memecah rasa kesalku yang menunggu. Aku tak menjawab, hanya dapat terdiam seraya menatap laki-laki jangkung didepanku. Laki-laki itu duduk dibangku panjang, tangannya terlipat.
“Kalau menunggu, lebih baik sambil duduk, kasihan kakinya, capek!” Laki-laki itu bersuara lagi, kali ini dengan menyunggingkan senyum manisnya. Seketika, aku terpaku. Senyum yang sangat manis, membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Duduk?” Laki-laki itu bersuara lagi, membuyarkan lamunan singkatku. Kali ini kakiku tergerak untuk menghampiri sisa bangku kosong disamping laki-laki itu, meskipun dengan perasaan kikuk dan malu-malu. Laki-laki itu tersenyum penuh pesona, dan lagi-lagi aku dibuatnya tersihir.
“Diana?” Alisku langsung menyatu begitu laki-laki itu mendengar satu nama yang sangat tidak asing, ya, itu namaku. Melihat ekspresiku, laki-laki itu tertawa renyah. Sekali lagi, aku terpanah.
“Geovani Fernandez, cukup dipanggil Gio” Kenalnya tanpa menjawab ekspresi tanyaku yang kuyakini dia menyadarinya.
            Beberapa saat kemudian, suasana mendadak dingin, tak ada perbincangan lagi diantara kami. Aku memilih diam untuk menghilangkan debaran jantungku. Sementara dia, terlihat fokus menikmati suara hujan yang tak kunjung reda. Aku memerhatikan laki-laki disampingku itu. Sepertinya, dia sangat menyukai hujan.
“Hujan itu tangisan pilu alam” Tuturnya dengan tiba-tiba, membuatku sedikit tersentak dan reflek memalingkan perhatianku dari menatapnya sebelum laki-laki itu menyadari bahwa sedari tadi aku memerhatikannya.
“Setiap bulir air mata langit memberikan ketenangan tersendiri.” Ungkapnya lagi, tanpa terasa, tatapanku beralih kembali padanya. Senyum laki-laki itu tampak tulus dan tanpa beban. Ya, dia memang menyukai hujan.
Hari itulah menjadi sejarah pertemuanku dengan sosok Gio, sosok yang membuat rasa itu tumbuh dengan sendirinya, sosok yang membuatku terpaksa harus menyimpannya dalam-dalam, dan sosok yang membuatku hanya dapat mengaguminya dari jarak kejauhan.
***
            Hari itu memang hari pertama dimana aku menemukan dan mengenal seorang Gio, namun juga menjadi hari terakhir bagiku. Karena untuk hari-hari selanjutnya, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Gio. Bukan tidak pernah bertemu, tepatnya aku sengaja untuk menghindar darinya. Tetapi, aku masih sering melihatnya bersemayam dalam pandanganku. Tertawa renyah, tersenyum, berbicara, berkumpul dengan kawan-kawannya, atau bahkan serius berkutat dengan buku-buku tebalnya. Kini, aku hanya menjadi pengagum rahasianya. Menjadi seorang paparazzi terkepo yang tahu segala macam informasi tentangnya. Ya, aku tahu segala hal tentang Gio. Geovani Fernandez, mahasiswa Jurusan Komunikasi semester 6 yang aktif. Gitaris Band kampus terkenal sekaligus Ketua UKM. Lahir di Gianyar, Bali 21 tahun yang lalu. Seorang penyiar radio yang ramah dan sangat menyukai hujan. Baginya, hujan adalah lagu terindah sepanjang masa. Di radio, dia pun memakai nama samaran Rain, yang berarti hujan.
            Aku tertawa sendiri, menertawakan kekonyolanku. Sudah terlalu jauh aku mengetahui sosok Gio. Tetapi, tetap tidak ada yang berubah dengan diriku. Bagiku, menikmati dirinya dari kejauhan saja itu sudah sangat cukup. Kalau kata Tere Liye, semua pengalaman cinta dan perasaan adalah spesial. Sama spesialnya dengan milik kita, tak peduli sesederhana apapun itu. aku kembali tersenyum di balik dinding yang menyembunyikan tubuhku dari seorang Geovani.
***
            Hujan lagi. Baru pintu rumah terbuka, hujan sudah siap menyiram bumi dengan derasnya. Aku kecewa. Padahal aku berencana untuk melihat konser Gio di kampus, tetapi sepertinya langit tidak mendukung.
            Aku kembali menutup pintu rumah dan bertengger di balkon, menatap hujan yang turun tanpa ampun. Ada kenyamanan yang menyeruak masuk dalam hatiku. Benar apa yang dikatakan Gio, hujan memang membuat hati nyaman. Tak salah jika dia menyukai hujan. Suara hujan yang khas pun sangat merdu terdengar. Semua perkataan Gio benar. Perkataan tentang hujan. Bahwa hujan adalah lagu terindah sepanjang masa. Bahwa hujan memberikan ketenangan tersendiri. Dan bahwa hujan adalah tangisan pilu alam.
“Diana, mengapa berdiri diluar? Masuk, nanti kamu masuk angin!” Suara Eyang membuyarkan lamunan singkatku tentang hujan dan Gio. Aku menoleh, tampak Eyang berdiri tak jauh dibelakangku. Tangannya penuh dengan bungkusan plastik putih. Aku tersenyum, mengangguk, lalu masuk kedalam rumah, menuruti perintah Eyang.
            Sekali lagi, aku menatap hujan dari balik jendela. Aku menutup mata sesaat, lalu berdoa dalam hatiku. Hujan, sampaikan salam tulusku untuk Rain. Katakan padanya, bahwa aku disini, dan akan selalu ada disini untuknya.


***

            Kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mencintai dalam diam. Apalagi menyimpan perasaan itu dalam waktu yang cukup lama. Sebelumnya aku tidak pernah merasakannya, namun sekarang aku merasakan hal itu. Ternyata, memang sangat menyakitkan mencintai dikeheningan kita, tanpa dia yang sedang dirindukan mengetahuinya.
            Sepuluh tahun. Waktu yang tidak sebentar untuk tersimpannya sebuah perasaan. Mungkin jika perasaan ini adalah sepotong roti, pasti sudah kadaluarsa dan dihiasi jamur-jamur menjijikkan. Tetapi untunglah perasaan ini bukan sepotong roti yang malang itu. Dan selama sepuluh tahun  pula-lah perasaan itu tidak tersampaikan. Aku tidak pernah berkata jujur padanya. Memberikan sinyal-sinyal padanya saja tidak. Aku hanya terpaku diam ditempatku. Masih dan akan tetap terpaku diam.
            Gio sudah lama lulus sebelumku. Kini, dia bekerja di sebuah perusahaan komunikasi, namun masih berkecimpung di dunia radio bersama para fans-nya yang membludag gila. Dua tahun kemudian, aku menyusulnya mendapatkan gelar sebagai sarjana berprestasi. Dan sekarang, aku lebih memilih berkutat didepan layar sebagai seorang penulis misterius. Tidak banyak yang dapat kulakukan.
“Oke, selamat malam sobat Setia dimana pun kalian berada. Bertemu lagi dengan gue, Rain, penyiar paling ganteng sejagat raya di radio kesayangan anda, Radio Setia FM” Suara yang tidak asing itu memantul di setiap sudut kamarku. Aku menghentikan kegiatan harianku, aku tersenyum mendengar suara khas itu.
“Mmm… Kebetulan sekali malam ini adalah malam minggu, berlatarkan rintik air hujan yang syahdu diluar sana. Maka, malam ini jadwal kita adalah Curhat Ceria bertema Hujan. Bagi kalian yang memiliki kisah indah, duka dan apapun tentang hujan, silakan telpon dan berbagi cerita kalian bersama kami…”
            Cerita tentang hujan? Buru-buru kuraih ponselku yang tergeletak manis diatas meja dan menekan nomor yang diucapkan Gio. Namun, kuurungkan kembali niatku. Aku memang memiliki pengalaman indah bersama hujan, tetapi aku tidak berani menceritakan hal itu, apalagi bercerita dengan Gio tentang Gio pula. Aku mengubah posisiku, merutuk diriku yang pengecut. Aku sadar, sampai kapanpun, rasa ini hanya akan tersimpan dalam hatiku saja, tanpa pernah Gio mengetahuinya.
“Wah, cerita yang indah. Baik, selanjutnya, sebelum acara curhat sesi dua dilanjutkan, gue bakal mempersembahkan satu buah lagu untuk sobat Setia semua. Lagu ini menurut gue lagu yang bagus dan cukup menyentuh, pas banget sebagai teman galau kalian di sabtu malam duka ini. Judulnya I don’t want to miss a thing-Aerosmith. Selamat menikmati.”
            Lagu itu! Lagu favorit Gio setelah hujan. Lagu yang mati-matian aku hafal dan sering aku setel disaat sedang suntuk. Tak disangka, meskipun sepuluh tahun telah berlalu, lama tidak pernah berjumpa lagi, Gio tetaplah Gio yang kusuka, si Rain yang mempesona. I don’t want to miss a thing-Aerosmith terus mengalun menghapus kesunyian malam di dalam kamarku. Hujan masih belum berhenti diluar sana. Imajinasiku berselancar bebas, bernostalgia ke masa lalu. Masa dimana hanya ada aku, hujan dan perasaanku untuk Gio. Tanpa terasa, lagu yang diputar pun selesai hingga muncul kembali suara khas Gio.
“Gimana lagunya sobat? Gue harap kalian suka dan terhibur. Baik, sebelum dilanjutkan, gue mau kasih tahu kalian, kalau mulai jam ini, sms Titip Salam Rindu telah dibuka! Dan bagi siapapun yang mau kirim salam untuk pujaan hati kalian yang jauh disana, silakan ketik nama kalian spasi sms kalian dan kirim…”
            Titip salam? Kebetulan sekali! Tidak dapat telepon, sms-pun jadi. Aku buru-buru menyusun dan mengetik kata per kata untuk dikirimkan ke nomor yang dituju. Tapi mendadak, otakku lemot sehingga tidak dapat menemukan kata yang pas. Aku merutuk kembali. Mengapa susah sekali untuk mengirimkan sinyal tersirat pada Gio?
“Sms yang masuk akan dibacakan setelah pesan-pesan berikut ini. Jangan ganti saluran kalian, karena Radio Setia FM akan kembali lagi untuk sobat Setia semua.”
            Masih ada beberapa menit lagi untuk menyusun kata-kata yang tepat. Aku memutar otakku lebih kuat lagi. Setelah perjuangan memaksa kerja otakku yang tiba-tiba lemot tanpa diharapkan, akhirnya terkirim sudah pesan itu. aku tersenyum lega. Lalu, kumatikan saluran radionya, dan terbaring nyaman di kasurku. Biarlah, aku tidak perlu mendengarkan pesanku dibaca olehnya. Biarlah, aku tidak ingin mengetahui reaksinya ketika membaca pesan itu.
            Aku kembali tersenyum. Sebenarnya, ada satu alasan kuat mengapa aku tidak pernah berani mengungkapkan rasa ini. Mengapa aku memilih diam mencintainya. Mengagumi sosoknya dari balik tembok besar. Karena, aku tidak akan pernah bisa berbicara padanya. Bukan karena aku pengecut, atau apapun. Tetapi, karena aku hanyalah seorang gadis bisu. Ya, aku bisu. Namun, aku tetap bahagia Tuhan menghadirkan rasa itu dalam hatiku.
Hujan menghadirkan satu rasa terhebat dalam hatiku. Namun, hujan juga-lah yang meredamnya kuat. Hujan, titip salamku untuk Rain. Katakan padanya, bahwa aku masih tetap disini. Diana.
***
 
To be continue...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermain Hujan

Tentang Musim Gugur Yang Telah Lama Dinanti